JarakPandang.Com – Kota kecil di sisi barat Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah tersebut namanya kurang dikenal. Namun, di jaman kolonial posisi Ngawi sangat strategis. Benteng Van Den Bosch yang berada di Komplek Angicipi Batalyon Armed 12 buktinya.
Penduduk setempat menyebutnya Benteng Pendem. Benteng ini memang dikelilingi oleh gundukan tanah yang menyerupai perbukitan kecil. Dari jauh, Benteng Van Den Bosch tidak kelihatan. Apalagi, kalau dilihat dari sungai Bengawan Solo dan sungai Madiun.
Lokasi benteng tepat di pinggir pertemuan dua sungai besar yang membelah hampir sebagian wilayah pulau Jawa tersebut. Saat sungai masih menjadi jalur lalu lintas utaman, Van Den Bosh menjadi pusat tentara Belanda untuk mengawasi dan membendung para pejuang untuk masuk ke wilayah Surakarta. Menjadi benteng pertahanan utama di saat berkobarnya Perang Diponegoro (1825-1830).
Nama diambil dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch, yang membangun benteng tersebut di tahun 1839 – 1845.
Perlawanan melawan Belanda di saat itu sedang puncak-puncaknya. Dari arah timur, perlawanan dipimpin langsung oleh Bupati Kerto Dirjo dari Madiun, Adipati Judodiningrat dari Ngawi. Setelah Ngawi bisa direbut, benteng dibangun untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan Belanda di tanah Jawa.
Benteng Van Den Bosch berdiri di atas lahan seluas 15 Ha. Tanah tersebut sekarang menjadi bagian dari Komplek Angicipi Batalyon Armed 12. Pengunjung mesti melewati pintu jaga komplek TNI tersebut lebih dulu sebelum sampai ke benteng.
Sayangnya, bangunan cagar budaya yang dibangun di abad 19 tersebut kondisinya sangat tidak terawatt. Bahkan, beberapa bagian dari bangunan jendela dan pintunya disemen untuk disulap jadi sarang burung wallet. Padahal, dari jejak yang masih ada, Benteng Van Der Bosch punya arsitektur yang megah. Bila ditangani dengan baik, bisa jadi objek wisata potensial bagi Kabupaten Ngawi.