JarakPandang.Com – Kami datang di akhir September, di musim kemarau, saat Tuamese sedang kering-keringnya. Kendaraan yang kami tumpangi harus lebih dulu menyusuri jalan berbatu yang berdebu. Krangkongan, tanaman sejenis kankung, yang biasanya tumbuh liar di sepanjang saluran air, tidak lagi terlihat hijau. Daunnya hampir semuanya bersembunyi dibalik tumpukan debu. Di kanan-kirinya, sawah-sawah hanya menyisakan tonggak padi yang tidak lagi bisa bertahan hidup, mati kehausan.
Sebagai anak petani, yang tahu rasanya seperti apa mengolah sawah, terbayang seperti apa sulitnya hidup di tempat seperti ini. Hidup dengan sawah yang tidak ada sumber air sama sekali. Pasti hanya orang-orang tangguh, berhati bajalah yang hidup dan bertahan di alam seperti ini.
Dari Jalan Raya Atambua Sakato, Bukit Tuamese dengan kayu-kayu putih yang meranggas di atasnya terlihat gagah. Di seberang bukit itulah orang-orang dari Kampung Tuamese tinggal. Secara administratif, wilayah ini bagian dari Kabupaten Timor Tengah Utara. Tapi, kalau kita mencari info destinasi wisata di seputar Atambua atau Kabupaten Belu, Tuamese hampir selalu keluar di mesin mencari.
Dikelilingi Bukit Tuamese dan Pantai Faularan yang indah, kehidupan orang-orang Kampung Tuamese tidak mudah.
Menurut Pak Kohe, “Orang Tuamese tidak pernah bisa mengandalkan hidup dari hasil menanam padi di sawah. Tanahnya memang luas, tapi dalam setahun belum tentu bisa sekali panen. Bertanam padi baginya seperti berjudi. Dengan musim hujan yang pendek, air kadang sudah menghilang sebelum tanaman padinya menua.”
Pak Kohe dan adiknya, Kore, masih beruntung bisa menggantungkan hidup mereka dari pohon lontar yang tumbuh di tanah mereka. Asal kaki dan tangan mereka masih kuat, orang-orang seperti mereka masih bisa bertahan hidup dari tuak, semacam air nira yang diambil dari bakal bunga buah lontar.
Pohon lontar menjadi urat Nadi ekonomi Kampung Tuamese.
Mereka berdua bisa memanen tuak dari tigapuluh pohon yang dulu ditanam ayah meraka di lahan warisan keluarga. Dari pohon-pohon itu mereka bisa mendapat sekitar empatpuluh liter tuak yang bisa diolah menjadi menjadi tujuh kilogram gula merah, setiap harinya.
“Selain diolah menjadi gula merah, sebagian tuak yang didapat menjadi minuman atau makanan pokok keluarga. Bagi keturunan Sabu, yang mendiami Kampung Tuamese, mereka punya kebiasaan mengganti makanan pagi dan malam hanya dengan minum tuak segar. Sehari, makan berat sekali di saat makan siang,” kata Pak Kohe.
Hanya orang-orang tangguh Tuamese-lah yang bisa melakukan jalan hidup seperti ini untuk bersahabat dengan kerasnya alam.