Perjalanan tidak melulu soal seberapa jauh kita bisa pergi, seberapa indah tempat yang didatangi. Perjalanan bisa saja ke tempat-tempat terdekat, yang bisa direngkuh dalam hitungan menit, bisa saja tidak lebih dari dua jam.
Saat sedang dalam perjalanan ke tempat saudara, melewati Jalan Daan Mogot, penghubung utama Tangerang dan Jakarta, beruntung saya bisa bertemu dengan beliau ini, Pak Umar, Pembersih Ranjau Jalan Daan Mogot.
Yang berarti dalam sebuah perjalanan, justru dengan siapa kita bisa bertemu dan cerita apa yang bisa kita dapatkan dari mereka untuk dijadikan pelajaran.
Di kota Jakarta yang serba egois, di Daan Mogot saya masih bisa bertemu dengan sebuah kebaikan kecil, sebuah keikhalasan dari Pak Umar.
Seperti satu kisah yang terekam dalam relief Borobudur yang saya kagumi adalah kisah tentang Burung Pipit. Fabel tentang ini memang jauh kalah populer dengan kisah kepahlawanan Jatayu, seekor garuda yang gagah perkasa, yang bertarung, berdarah-darah, melindungi Sinta dari Rahwana di kisah Ramayana. Cerita kepahlawanan ini bahkan selalu dipanggungkan dalam sendratari Ramayana, di sisi barat Prambanan setiap bulannya.
Saya baru mengetahui tentang kisah Burung Pipit ini dari buku Sanak Kadang, tulisan Mas Hari Atmoko, jurnalis Antara, yang diterbitkan secara independen oleh Komunitas Lima Gunung.
Pipit memang mewakili dunia orang-orang kecil. Di relief Borobudur, fabel tersebut mewakili cerita tentang sebuah tindakan yang dilandasi semangat serta keikhlasan. Namun yang terpenting, kisah tersebut akan selalu abadi karena terdokumentasikan.
Merekam pahlawan, tokoh besar, yang mengambil peran sebagai Jatayu, memang membanggakan. Namun bisa merekam cerita-cerita kecil, seperti cerita burung pipit tersebut, tidaklah kalah menyenangkan. Seperti apa yang dilakukan Pak Umar, yang secara sukarela, ikhlas, membersihkan jalanan di sepanjang Daan Mogot dari tebaran ranjau paku, di tengah-tengah masyarakat Jakarta yang sudah egois dan abai akut terhadap kondisi lingkungan.