JarakPandang.Com β Keinginan pergi ke Komplek Candi Batu Jaya yang ada di utara Karawang ini muncul sudah lama. Memang, saya sangat suka dengan tempat-tempat seperti ini. Situs-situs candi kuno. Apalagi, lokasinya tidak begitu jauh dari Jakarta, kota tempat saya tinggal sekarang ini.
Di sini, saya tidak akan bercerita soal candi Hindu dari susunan batu bata merah peninggalan Tarumanegara ini. Bukan karena tempatnya yang kurang menarik. Di tempat seperti ini, kondisi candinya seperti apa, mau cuacanya seburuk apapun, saya akan tetap bisa berlama-lama menikmati setiap detil dan sudutnya.
Tidak berani bercerita banyak tentang candi karena ini baru datang untuk pertama kalinya, waktunya pun tidak lama, belum mengorek cerita seputar candi dari orang-orang di sekitarnya.
Tapi, saat berkeliling, ada sesuatu di tengah-tengah persawahan yang mengeliling komplek candi ini yang membuat mata ini langsung tertarik. Saya pun bersikeras harus mendapatkan foto satu ini!
Seorang ibu sedang memetik bulir-bulir padi yang masih tertinggal selepas masa panen. Dari situasi ini, alat pemetik padinya yang membuat saya sangat tertarik.
Di tempat lahir saya, Klaten, alat ini namanya Ani-Ani. Berupa selembar kecil papan yang bagian depannya diberi bilah pisau pemotong, sedangkan bagian belakangnya, menyilang, diberi potongan ranting bambu berukuran kecil sebagai pegangannya. Pemetik padi ini ukurannya hanya sebesar telapak tangan. Dipakainya, untuk memotong tangkai padi satu persatu.
Sampai tahun 80-an akhir, hampir semua pemanen padi di kampung saya masih menggunakan alat ini. Karena tidak bisa cepat, untuk memanen beberapa petak sawah, diperlukan banyak orang untuk melakukannya. Pemilik sawah biasanya akan dibantu para tetangga, atau orang lain kampung, yang memang bekerja sebagai pemetik padi saat musim panen sedang tiba.
Satu lahan biasanya akan selesai dalam satu sampai dua hari dengan lima sampai sepuluh ibu-ibu yang ikut kerja sebagai pemetiknya. Tergantung seberapa luas lahannya. Ibu-ibu itu akan memetik kemudian dilanjutkan dengan merontokkan butir padi dari tangkainya. Dulunya dilakukan dengan diinjak-injak pakai kaki. Tapi, setelah ada cara yang lebih cepat, merontokkannya dilakukan dengan memukul berulang-ulang tumpukan tangkai padi dengan batang pelepah kelapa. Setiap satu bakul padi yang sudah dirontokkan, pemetik akan mendapat satu sampai dua βponβ, alat ukur dari kaleng satu liter, sebagai upahnya.
![](https://jarakpandang.com/wp-content/uploads/2018/08/Catatan-fotografi-candi-batu-jaya-03.jpg)
Di masyarakat agraris tradisional, ini salah satu bentuk gotong-royongnya, yang membuat pemilik sawah dan petani tanpa lahan saling membutuhkan. Petani tanpa lahan bisa terus bertahan.
Bisa dikatakan, alat inilah yang telah lama menjadi sarana pemerataan ekonomi masyarakat agraris tradisional di Jawa. Tapi, karena sudah tidak efektif, ditambah semakin sedikitnya orang yang mau menjadi petani, mulai di akhir tahun 90-an Ani-Ani sudah hampir tidak dipakai lagi di kampung saya.
Alat ini, saya baru bisa melihat lagi masih dipakai di samping Candi Batu Jaya ini. Padahal, ini sudah di tahun 2015, hampir dua puluh tahun setelah melihatnya terakhir kali di Klaten, kampung saya.