JarakPandang.Com – Orang di kampung lebih mengenalnya dengan panggilan Mbah Guru. Hanya sedikit orang saja yang tahu nama aslinya, Tukiyem. Panggilan itu muncul bukan karena pekerjaan ibu ini seorang guru, orang pintar yang berilmu. Panggilan sehari-hari itu muncul karena beliau kebetulan istri seorang guru saja.
Sudah jadi kebiasaan di kampung, kalau suaminya carik, spontan istrinya pun akan dipanggil Bu Carik. Kalau anaknya bernama Anang, biasanya panggilannya jadi Ibunya Ananya. Otomatis. Orang itu tidak bisa menolak.
Padahal, ibu satu ini tidak kenal satu hurufpun. Apalagi membaca.
Sebagai anak perempuan yang lahir di tahun 1942, hasrat besarnya untuk belajar, masuk ke sekolah rakyat seperti kakak dan adik-adiknya, selalu terbentur dengan pandangan kolot orangtua. Dari kecil, anak perempuan seperti dirinya hanya boleh tahu soal urusan rumah tangga saja. Atau ikut bekerja di sawah.
Sekali-kalinya mencuri waktu, mencoba ikut kakaknya ke sekolah, begitu balik, bukan senyum bangga yang menyapanya karena anak perempuannya belajar tulis dan membaca, justru ayunan tangan dan kaki ayahnyalah yang menyapanya.
Pengalaman dan keinginan masa kecil yang tidak sejalan itu pun telah menjadi tekad, bahwa hal itu tidak boleh terjadi juga pada anak-anaknya. Dirinya tidak boleh bersekolah, tidak bisa membaca, tapi tidak untuk anak-anaknya.
Waktu suaminya pergi, meninggal lebih cepat dengan tujuh anak di usianya yang belum genap 35 tahun, bahkan dengan tegas beliau pun menolak pinangan seorang tentara, memilih ingin membesarkan anak-anaknya seorang diri. Buat perempuan petani seperti dirinya, seberapa pun berat beban di punggung, mereka harus yakin dengan kekuatan kaki dan tangannya.
Di Tempat Paling Berharga
Waktu ingin membuat satu foto terbaik tentang dirinya, inilah alasan mengapa akhirnya mengajak beliau ke satu tempat yang paling berarti dalam perjalanan hidupnya. Di tengah-tengah sawah, saksi akan kerja keras dan cucuran keringatnya, yang Ibu ini andalkan untuk membangun impian bersekolah anak-anaknya. Tempat, di mana dia hampir tidak pernah sekalipun mengeluh karena lelah, bahkan saat hampir menerima tebasan arit tetangganya yang marah atas protesnya karena serakah atas jatah air kalau musim kemarau tiba.
Jujur, judul foto “Tukiyem in Wonderland” memang terilhami dari film kartun yang pernah menghiasi masa kecil saya di layar kaca. Kalau Alice hanya berpetualang di negeri impian, khayalan. Buat Tukiyem tanah ini justru tanah yang nyata, saksi akan petualangan mewujudkan mimpinya dan untuk anak-anaknya.
Di kala banyak yang memicingkan mata, bahkan menyangsikan seberapa keras tekad di hati dan tangannya, hanya tanah-tanah inilah yang jadi sandarannya.
Kalau pun foto ini sering muncul dalam buku, ini memang menjadi cara mengungkapkan terimakasih saya untuknya, sedalam-dalamnya. Tukiyem cukup dengan membangun mimpi dan bekerja. Dan cerita itu terekam di dalamnya. Untuk merangkai kata, berbagi ilmu dari hasil kerja kerasnya, biarkan saja saya yang mewakili, melakukannya.
Catatan kecil ini dibuat memang lebih cepat, lebih cepat satu bulan menjelang perayaan seribu hari kepergian Tukiyem, ibu saya. Perempuan yang berada di urutan paling atas di hati saya dan juga perempuan-perempuan petani lainnya.